Selasa, 18 Februari 2014

Aku Abu Gunungkidul

"Bundaran Siyono 06.05"
Malam itu Kamis, 13 Februari 2014, dalam suasana hening tiba-tiba terdengar gemuruh. Sontak hening kami berubah riuh. Lindu! Itulah yang terbersit seketika. Beberapa detik tak terdengar lagi dan selanjutnya tanpa henti. Di luar rumah semua mata menghadap ke arah timur, kearah sumber suara ledakan demi ledakan bersahutan. Kelud “Njeblug”!!!
Tak ada yang bisa kami pandang selain gelap. Walau beberapa warga bersaksi melihat pendar kemerahan di atas langit timur jauh. 

Kami hanya diam menikmati, sambil kadang berceloteh tentang imajinasi kami atas ledakan demi ledakan yang tak kunjung usai kami dengar.
Suara kentongan, suara tiang instalasi telpun di pukul dan berbagai teriakan menyadarkan setiap warga untuk terjaga. Secara logika dampak langsung tak akan kami rasakan. Terlalu jauh, bahkan teramat jauh untuk mengantarkan kerikil dan bebatuan untuk sampai di tanah kami Gunungkidul. Tetapi secara suka rela hampir semua warga terjaga dan tetap terjaga sampai gemuruh ledakan itu tak terdengar lagi. TV, Internet, Radio di setel untuk mendapatkan informasi terbaru  tentang kabar saudara-saudara di Jawa Timur sana. Beberapa warga segera menghubungi sanak famili yang di kenalnya yang hidup atau sedang berada tak jauh dari Kelud. Semuanya baik-baik saja. Hingga sekitar pukul 00.00 kampung kamipun kembali lengang. Hampir semua kembali keperaduan tidur malam. Beberapa tetap terjaga, mengikuti berita dan terus memasang fokus pendengaran ke arah timur. Tak terdengar lagi suara dentuman dan juga tak terasakan lagi bumi ini bergetar. Selebihnya kami yang terjaga hanya menikmati suara binatang malam. Dan beberapa hati kami merasa turut iba. Mungkin mereka yang berada di timur sana sedang kalut dan panik luar biasa.


"Depan Alun-Alun 04.10"
Saya memang tidak menyaksikan Gunung Merapi 2010. Tetapi dalam bayangan saya adalah photo-photo tentang asap gelap di atas Merapi  yang lebih banyak menampilkan asap yang mengarah ke barat. Saya begitu yakin bahwa ini pasti kurang lebih akan sama. Asap tebal gelap abu-abu bergumpal meliuk ke arah barat. Dan pasti akan ada abu yang terbawa ke arah bumi di mana saya sedang berada, Gunungkidul. 
Apa lagi semalam ketika masing-masing dari orang tua bercerita tentang  peristiwa Jum’at Legi tahun 1951. Entah hari, bulan dan tanggal berapa, saya tak bisa merekamnya. Namun dari cerita orang tua, Jum’at Legi menjadi peristiwa luar bisa di tahun 1951 itu. Meletusnya Gunung Kelud di musim kemarau kala itu mengirim tidak sekedar abu seperti tahun 2014 ini tetapi bahkan pasir lembutnya. Tak ayal pikiran saya pun menerima logika ini. Bahwa cepat atau lambat abu Kelud akan berkunjung di tanah ini.
Dan saya pun tetap terjaga sampai sekitar pukul 02.00, sesaat sebelum tidur saya-pun keluar rumah menatap langit, masih ada bintang dan cerahnya langit. Ada semburat ke abu-abuan berarak dari arah timur, sedikit mendongak keatas dan … kelilipan! Dalam bisik bersama gelap kala itu saya ucap “Selamat datang Kelud!” Lalu sayapun masuk rumah dan tidur.

"Pelataran Parkir Pasar Wonosari 04.53"
Dalam penghantar lelap saya membayangkan Kerajaan Majapahit di timur sana yang begitu besar dan megah. Tiba-tiba terdengar  hancur berantakan dan warganya berhamburan sampai ke Gunungkidul. Demikianlah “prajurit-prajurit” ledakan Gunung Kelud pun akan berkunjung. Mereka akan mengungsi, hidup dan menghiasi kehidupan Gunungkidul kami. 

Pukul 03.50 dini pagi, saya di bangunkan istri untuk mengantar belanja ke pasar. Dan bangunku di sajikan semua rumah, halaman, jalanan pepohonan memutih semua. Jalanan yang lengang kala itu tidak menjadikan perjalan kami kepasar menjadi lancar. Jarak pandang yang kurang dari 3 meter memaksa kami menikmati perjalanan dengan penuh abu di tubuh kami. Abu berjatuhan dari langit berwarna gelap. Beberapa kali saya harus berhenti mengabadikan apa yang mengusik hati saya untuk memegang kamera saat abu begitu dahsyat jatuh dari atas. Gunungkidul-ku berwarna abu-abu, Gunungkidul ku ber-abu. 


"Jukir Lantai 2"
Pasar Hargosari, Wonosari 14 Februari 2014 sekitar pukul 04.00 lebih, kala itu menjadi sesuatu yang nampak asing sekali. Pelataran parkir, jalanan dan semua kendaran yang terparkir berselimut debu tanpa ampun. Manusia-manusia pasarpun berpenampilang tak selayaknya. Putih dan abu-abu! Saya merasa menjadi manusia asing di dunia yang tak banyak warna. Sejauh mata memandang adalah abu dan abu. Kelud sungguh memberi selimut.
Beberapa kelompok orang di pasar menceritakan kembali Tragedi Jum’at Legi 1951. Semakin meyakinkan saya akan sebuah legenda Kota Kediri, daerah dimana sang Kelud bersemayam. Dan kembali saya membayangkan betapa manusa-manusia Majapahit kala itu mengikuti jejak abu Kelud untuk mencari tempat teraman dan ternyaman untuk melanjutkan hidup. 

Sepanjang waktu antara rumah di Siono sampai Pasar Wonosari dan sekembalinya, pada setiap kelompok manusia yang sedang menikmati hujan abu kala itu. Tak satupun hujatan umpatan bahkan sumpah kutukan tentang apa yang terjadi. Semua menyadari, semua mengerti ini bukan bencana tetapi adalah cara Kelud turut menyuburkan tanah Jawa. Pada setiap kelompok orang yang bercengkrama mereka tetap ada cerita rasa iba pada saudara-saudara di sana.


"Status Facebook"
Semua menjadi seolah-olah berubah ketika saya membuka media sosial. Berbagai status dan twitt bergema dalam umpatan, cacian dan keluhan karena abu Kelud hari itu. Siapa mereka hingga berani menyumpah serapahi kemauan sang Gunung Kelud dalam caranya memberi penghidupan? Apakah sedemikian beratnya juga para pelarian Majapahit yang mendatangi rumah-rumah penduduk Gunungkidul kala itu untuk mendapatkan tempat perlindungan yang layak setelah negara besar itu hancur berantakan? Hingga mereka memilih masuk kedalam hutan dan membuat kehidupan sendiri?! Bisa saja terjadi. Namun akhirnya tetap saja mereka memberi warna pada Bumi Dhaksinarga ini.

"Manusia Pasar"
Lalu apakah memang begitu adanya cara kelompok-kelompok orang yang lebih dulu mendiami wilayah ini menerima para pelarian Majapahit? Bisa saja iya atau mungkin tidak. Menelusuri alam bawah sadar yang menuntun untuk membayangkan apa yang terjadi kala itu, bahwa sebenarnya Gunungkidul menerima kedatangan mereka namun bersyarat. Yaitu agar menempati hutan-hutan dan bukit yang lebih dalam. 

Pendapat liar itu di kuatkan dengan berbagai status facebook dan twitt yang kadang lebih banyak irasionalnya. Mereka menghubungkan dengan para politikus, mereka menghubungkan dengan keyakinan agamanya, mereka menghubungkan dengan kepemerintahanya, mereka menghubungkan dengan strata sosial yang ada. Umpatan si miskin kepada yang kaya dan sebaliknya, hujatan pada politikus pada warga dan sebaliknya. Cacian manusia-manusia Gunungkidul pada pemerintahannya dan sebaliknya. Siapa sebenarnya manusia-manusia Gunungkidul yang saya dapati pada dunia maya ini? Mereka adalah pelarian Majapahit atau Manusia pertama penghuni bukit-bukit kapur ini?

Setahu saya dari berbagai cerita tentang Jum’at Legi 51, dari cerita para orang tua yang mengalaminya. Mereka menerima begitu saja kiriman abu dan pasir lembut dari Kelud waktu itu. Mereka lebih memahami inilah cara Gusti Allah menurut versi mereka, membagikan kesuburan pada tanah berkapur ini. Mereka menerimanya sebagai hadiah alam, hingga dengan senang hati menerima para pemilik tanah Kediri untuk turut bermukim di tanah ini. Tak mengumpat, mereka juga tak banyak mengharap bantuan, mereka dengan sepenuh hati menerima ini semua sebagai rejeki yang teramat sangat layak untuk di syukuri. 

"15 Februari"
Ini Juga Rejeki Kami
“Matur nuwun Gusti, dalem pun paringi rabok kagem alas garapan kulo!” inilah yang menyentuh hati saya. Beberapa orang tua mengucap syukur sambil menatap abu-abu yang bersorak-sorai berjatuhan kepada daun-daun, kepada ranting-ranting, kepada batu dan kerikil, kepada tanah dan air. 
Lalu saya meyakini inilah mereka orang Gunungkidul yang sudah ada sebelum para pelarian Majapahit itu tiba. Mereka mensyukuri kejadian alam ini bukan sebagai bencana. Apalagi menghujat pada para manusia lainnya. Mereka hanya menanti semua reda, mereka hanya memberi waktu abu-abu itu memilih tempat yang mereka mau. Lalu melanjutkan lagi perjalanan hidup mereka sebagai Si Pen-“Syukur” segala aktivitas alam. 

Lalu saya kembali bertanya dalam hati “Siapa sebenarnya para penghujat, penuntut, pemohon bantuan yang ada pada dunia maya itu?” Mereka banyak mengatasnamakan kemanusiaan, tapi kemanusiaan siapa yang sebenarnya mereka coba bela?


"Pencari Masker Jam 7.45"

Satu masker ku tawarkan pada bapak saya yang sudah renta, katanya 

“Awu koyo ngene wae lehmu golek masker ngasi koyo wong edan. To rewangi mlayu rono rene awakmu kebak awu. Rikolo semono tahun seket siji kui luwih katimbang saiki. Aku ora due masker, aku ora di kotbahi leloro ISPA, aku ora ndekem neng jero omah ndongo njaluk udan. Wis ben iki Gusti sek duwe karep, menehi rabok lan pangan!”
Sayapun terdiam dan mencoba membela mental-mental para anak gunung gemunung yang berteduh di bawah daun jati yang sesungguhnya, di dunia maya.


"Pasar Hewan Siyono 06.30"
"Halaman Rumah Waktu Itu"
"Pengumpul Abu Jalan"
15 Februari
"Menghela Abu Sebentar"
14 Februari 08.05
"Mereka Tahu Semua Baik Adanya"
Pasar Hewan Siyono

Aku Abu Gunungkidul ...









Tidak ada komentar:

Posting Komentar