Minggu, 06 April 2014

FLI-GK; Semoga Titir Tak Menjadi Doro Muluk/Gobyok

"Siapa Memberi Siapa"
Kenthongan adalah salah satu alat tradisional yang digunakan untuk berkomunikasi secara komunal/kelompok. Kenthongan pada massa sebelum maraknya teknologi berkomunikasi seperti sekarang ini, menjadi salah satu alat wajib yang harus di miliki oleh setiap rumah. Lebih-lebih di tempat pos-pos penjaga keamanan. Kenthongan pada masa dulu bahkan sampai sekarang (khususnya di desa-desa, bahkan di beberapa perkotaan) memiliki peran yang sangat penting. Suara Kenthongan dengan sandi atau kode tertentu akan di terima sebagai isyarat secara komunal dalam tradisi masyarakat. Kode atau sandi yang di kirim lewat suara kenthongan yang di pukul berarti mengisyaratkan hal-hal tertentu yang selanjutnya wajib di tindak lanjuti dengan aksi oleh sekelompok masyarakat. Kenthongan yang dipukul atau dibunyikan secara asal-pun saat ini masih bisa menarik perhatian komunal. Setidaknya warga akan keluar dari sarang kenyamanannya dan mencari informasi tentang apa yang sedang terjadi. Atau mencari tahu apa maksud dari dipukulnya kenthongan itu. 
Walau sudah semakin jarang suara/bunyi kenthongan dengan isyarat tertentu sekarang ini. Namun keberadaan kethongan masih layak digunakan untuk menyapaikan berita atau informasi. Adanya kenthongan juga bisa menjadi indikasi bahwa kebudayaan nenek moyang masih saja perlu di-"uri-uri"
"Berjaga Untuk Ingatkan Semua"
Adalah "TITIR (berita)" sebuah kode atau tanda bunyi kenthongan yang mengisyaratkan kepada komunal tentang adanya bahaya dan harus waspada. 
Dalam Gerakan Menolak Money Politics, Jum’at 4/4/2014 – GUNUNGKIDUL SIAGA 1 – Suara TITIR yang di pukul secara serentak oleh peserta aksi adalah mengajak seluruh warga negara (khususnya Gunungkidul) untuk terjaga dan waspada karena adanya bahaya. Bahaya yang di maksud adalah praktik transaksi jual-beli suara pada Pemilu 2014. Transaksi jual beli sekarang yang semakin cangih dan apik di kemas. Para pelaku tak hanya melakukannya dengan memberi uang kepada pemilih perorangan (Gundhulan) dengan catatan harus memilih si pemberi. Tetapi strategi yang di gunakan sudah sedemikian menggurita dan menguasai hampir setiap sendi kebutuhan pokok individu maupun komunal dengan struktur yang ciamik.
FLI Gunungkidul yang merasa prihatin terhadap efek dari praktik transaksi jual-beli suara pada Pemilu 2014 ini merasa perlu untuk mengingatkan masyarakat. Panggilan atas keprihatinan suasana politik menjelang Pemungutan Suara  pada Pemilu 2014 di rasa perlu untuk di sampaikan. Kethong TITIR menjadi simbol 
Gerakan menolak praktik politik uang yang tetap membawa identitas kebudayaan.  
"Mungkin Percuma, tapi kita harus bekata"
Kesadaran atas tidak adanya respon dari aksi banyak pihak, membuat FLI Gunungkidul turun kejalan dan menabuh Kethongan “TITIR”. Seruan atau ajakan untuk mewaspadai gerakan politik uang ini sudah banyak yang menyuarakan. Para penulis cerita sudah membuat begitu banyak cerita, para pelukis sudah begitu banyak membuat lukisan, para pematung telah membuat begitu banyak patung, para musisi juga sudah membuat sangat banyak lagu, para pencipta puisi pun telah banyak membuat puisi, para pendidik juga sudah mencoba melakukan kewajibannya. Dan  semua tentang ajakan untuk sadar akan bahaya Politik Uang. Tetapi praktik ini terus dan terus berlanjut bahkan menjelang 9 April 2014. Lebih mengerikan lagi, mereka sudah berani bertransaksi untuk memilih Sang Calon Presiden yang akan berkuasa. Dan FLI Gunungkidul mengingatkan kembali dengan TITIR-nya.
Kebutuhan hidup menjadi agitasi yang tak tertolak dan di manfaatkan untuk melakukan tawar menawar harga suara. Sekali lagi ini terjadi tidak hanya untuk individu, tetapi semakin masif berada di tengah-tengah komunal masyarakat. Bahkan transaksi jual-beli suara ini menjadi kebutuhan itu sendiri. Ya kebutuhan untuk bertransaksi agar mendapatkan keuntungan. Siapa yang lebih di untungkan dan terugikan adalah urusan belakangan. Yang penting kebutuhan hari ini terpenuhi.
Paling tidak gerakan ini menjadi pengingat diri. Menjaga pribadi-pribadi. Karena hanya dengan mengingatkan akar kebudayaan saja mungkin kita mau berpikir 2 kali.
"Jika kamu bisa melampauinya dengan tanpa mencuri, itulah, kamu telah menempuh jalan siasat kebudayaan. Intinya, siasat berkebudayaan adalah jalan menuju masa depan dengan tetap menimbang nilaimu sebagai manusia” Whanny Darmawan (Surat Cinta buat Sri Krishna)
Ironis memang, di masa yang semakin modern dan semakin banyak orang berpendidikan, praktik yang jelas-jelas akan merugikan banyak pihak ini malah semakin menjamur dan terbudidayakan dengan subur. Masyarakat secara komunal di agitasi sedemikian rupa agar percaya bahwa “sim salabim” hanya bisa di lakukan oleh kelompok si calon legislator. Peran Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif secara kelembagaan tidak lagi dikenal sebagian besar masyarakat yang konon kabarnya semakin terdidik intelektualitasnya.
Gayung bersambut, masyarakat pemilih-pun melihat ini sebagai kesempatan untuk memiliki daya tawar. Dengan strategi yang (seperti) tak kalah hebat dengan para Caleg wakil Partai mereka berani menentukan harga. Dan Strategi Partai melawan Strategi Massa pemilih pun bertempur di ladang perang “abu-abu”.
Kenthong Titir menjadi sebuah isyarat yang wajib di sampaikan oleh FLI bersama jaringan-jaringannya kepada masyarakat yang masih memiliki akal untuk sebentar saja memikirkan situasi ini. Masyarakat ini bukan saja para pemilih, tetapi untuk calon terpilih. Kenthong Titir masih layak di bunyikan untuk menyampaikan pesan akan tereduksinya makna demokrasi yang di ajarkan sejak di sekolah dasar. Bahkan mungkin PAUD untuk sekarang.
Kemurnian, kejujuran akan arti demokrasi bisa saja hanya milik anak-anak belia. Tetapi hanya ketika yang dewasa memang tak lagi layak untuk di percaya.
"Setidaknya Kita Telah Mengingatkannya" (Video)
5 tahun yang terpilih akan berkuasa. Mereka bisa saja melakukan apa saja. Jikapun tidak lagi korupsi, minimal mereka memiliki hak yang luar biasa untuk membuat aturan atau undang-undang yang akan semakin melegalkan cara bertransaksi di kemudian hari. Praktik bagi-bagi uang demi pemenangan sediri sebenarnya telah mereka putuskan ilegal hukumnya. Tetapi apa lacur mereka juga yang turut mengkondisikannya.
Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan termasuk perjuangan dalam Pemilu 2014 ini. Tetapi apa lantas mengorbankan asas dan aturan berdemokrasi di negara ini? Yang notabene mereka juga yang membuat aturannya?
Lebih ironis lagi ketika Panitia Pengawas Pemilu juga tidak mampu bertindak tegas atas pelanggaran aturan yang jelas-jelas di depan mata. Lalu kemana Gerakan Keprihatinan akan maraknya Money Politics ini akan bermuara? Entah, tapi FLI Gunungkidul telah mengingatkanya dan akan tetap Siaga. Dan Siapkan Barisannya (berita).
Walahualam, walau dengan nada sumbang FLI Gunungkidul bersama jaringannya dan masyarakat telah mengingatkan kembali bahwa situasi ini memang sangat bahaya untuk di masa yang akan datang. FLI Gunungkidul telah memukul kenthong TITIR agar setiap warga terjaga dan waspada. FLI Gunungkidul masih merasa perlu untuk terus memukul kenthogan TITIR selanjutnya. 
"Semoga Doro Muluk Tak Diperdengarkan"
Semoga Kethongan berisyarat ROJO PATI dengan kode DORO MULUK tidak di perdengarkan untuk memberi isyarat matinya demokrasi di Bumi Handayani apalagi di negri ini. Pilihlah Para Caleg karena mereka memang “Orang Pilihan”, Bukan karena “uang sumbangan” yang habis seharian. Pesta Demokrasi ini bukan “Jagongan”.

"Petisi Gunungkidul Siaga 1"

1 komentar:

  1. memberikan pendidikan politik kepada masyarakat sebenarnya adalah tugas parpol, tetapi sekarang, dengan aksi ini, masyarakat berusaha memberikan pendidikan politik kepada partai politik dan calon legislatif :)

    BalasHapus