Minggu, 05 Januari 2014

Bercengkrama di Pembuangan


"dengan begini, lalu nikmat apa yang layak ku ingkari?"
Sore itu Kamis 3 Januari 2014, mendung tipis memoles langit. Keputusan semakin bulat melihat-lihat Tempat Pengolahan Sampah Baleharjo, Wonosari, Gunungkidul, ketika beberapa baris biru langit masih bisa di harapkan untuk menahan hujan.
Kurang lebih 100 meter sebelum lokasi, bau tidak sedap menemui. Keinginan yang kuat untuk mengabadikan aktivitas disana membunuh rasa jijik. Tepuk riuh, sorak sorai lalat menyambut. Semakin riuh ketika 2 kamera ku keluarkan dari tas.
"Nderek Motret mriki gih bu, pak?!"
Sapaan saya buka
ketika tatapan datar dan tanda tanya saya tangkap dari beberapa pemulung yang masih memilah-milah sampah yang tersisa siang tadi. Jawaban ramah pun saya dapat, dan saya ikuti dengan beberapa frame pembuka untuk meyakinkan bahwa saya dan beberapa teman benar-benar ingin motret saja. 
"Ibuk asli dari sini saja, ya?" untuk semakin mencairkan suasana, obrolan kecil saya buka. Beberapa teman sudah langsung membidikan lensanya ke wanita berusia 70 tahun yang sedang memilah sampah. Beliau menjawab dengan ramah sambil tetap fokus pada sampah-sampah di depannya. Menjadi asik ketika ternyata beliau tidak merasa terganggu dengan lensa-lensa yang kami bidikan kepada mereka. 

"namanya Ny. Parto Sumi 70th"
"sampeyan sudah lama di sini, bu?" pertanyaan-pertanyaan sederhana selalu saya lontarkan sambil tetap membidikkan kamera kami. Berharap moment atau gerakan "cantik" kami dapat, tanpa kehilangan fokus dan suasana. Ibu yang nampak bersahaja ini adalah warga Wukirsari, Baleharjo. 
Sambil bercerita tentang kesehariannya kami seolah sudah saling kenal lama. Hingga kamera saya posisikan sedekat mungkin pun, Ibu Sumi tidak merasa risih atau tak nyaman.

"lebih dari 15 tahun profesi ini beliau geluti, di samping sebagai ibu rumah tangga"
Mungkin hanya lalat yang merasa terganggu dengan kami. Setiap gerakan yang kami lakukan selalu di sambut dengan gemuruh lalat beterbangan.

Seiring dengan waktu beberapa teman berpindah tempat dan berganti obyek. Saya tetap memperhatikan sekitar, dimana seorang bapak juga sedang sibuk memilah sampah, yang sesekali menimpali obrolan saya dengan Ibu Sumi.
Berbeda dengan Ibu Sumi, sepertinya beliau sudah dari tadi melakukan pekerjaannya, terlihat beberapa keranjang sampah telah terpenuhi dan siap pikul untuk kemudian di kumpulkan di satu tempat.

Namanya Pak Jatimin, sama seperti yang lain. Pak Jatimin juga warga sekitar saja. Tetapi beliau sudah menggeluti pekerjaan ini lebih dari 25 tahun. Bahkan beliau telah ikut di beberapa TPA sebelum TPA di Dusun Wukir Sari, Baleharjo ini di bangun.

"sepertinya beliau hampir usai, beliau membersihkan tangan dan kaki menggunakan ampas parutan kelapa"
Sesuai KTP yang beliau miliki Pak Jatimin berusia sekitar 64 tahun. Walau menurut pengakuannya beliau lebih tua 2-3 tahun dari tahun yang tertera di kartu identitasnya. Saya tidak perlu melihat kartu identitas beliau. Keramahan beliau cukup membuat kami nyaman motret saja sudah cukup. Ada bangga menggeluti profesi ini tersirat dari cara beliau berinteraksi dengan kami. Tanpa merasa risih dan sungkan bercerita tentang 6 anaknya yang tetap menjalani pendidikan sewajarnya, 
"minimal ijasah setingkat SMA harus di miliki anak-anak saya, mas. Bagaimanapun cara mencari biayanya!"

"ada harap untuk esok tetap hidup dan menghidupi" 
"terkumpul keranjang demi keranjang"
Bersahaja dan tetap menikmati hidup dengan caranya. Itu yang bisa saya dapat untuk memahami beliau. Bahkan saat jeda sebelum pulang kerumah, berkumpul lagi dengan keluarga, beliau masih menampakkan kesederhanaannya. Rokok klembak racikan sendiri, teh panas segar dari tremos yang di tuang dalam gelas tanpa makanan kecil. Haru saya di buatnya dengan caranya menikmati hidup. Mungkin memang beliau telah benar-benar menemukan hidupnya, walau masih harus menyelesaikan sekolah anak bungsunya yang masih duduk di kelas 7 SMP. Dan ke 5 anaknya telah bekerja sesuai keingininannya masing-masing.

"sehari tlah di lalui, nikmat hidup adalah begini"
Masih ada 2 orang lagi disana yang beraktivitas hingga petang menjelang. Tetapi berbincang dengan 2 orang ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk belajar tentang bagaimana seharusnya hidup dalam lingkungan sampah. Mereka tetap menjadi bagian dari pemelihara alam, kehidupannya tidak berbanding lurus dengan keadaanya yang tergambar di setiap sudut pemukiman. Mereka lebih bisa menimati hidup dengan caranya. Bahkan mungkin mereka tak akan bisa tenang menikmati hidupnya ketika mereka di ajak bekerja di belakang meja dan berhadapan dengan pena. Semoga kebersahajaan mereka mengilhami saya untuk tetap bersyukur dan terus lekat dengan alam.

"nopo ajeng di paringi duit to mas kog di takon-takoni?"
GUBRAAAAKKK ... heee

"sek mriki kog mboten di poto, mas?"
Heee ndak harus mendekat pak, akses mendekat saya penuh dengan sampah, saya bisa bidik dari jauh pake 70-300mm.

"bu Sumi pun sudah mendapatkan 'jatah'nya sore itu"


"dia kini"

"nikmat jeda"

"diantaranya"

"dia pernah berjasa"
"masih bisa"

Dan masih ada INDONESIA di antara sisa-sisa
"-aku di Indonesia-"















   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar