Senin, 06 Januari 2014

Koin Tanda Jadi

"ada koin di tangan yang mengepal"
Koin atau recehan sebagai tanda “deal” pada bisnis bernilai puluhan juta, rasanya kog mengada-ada. Secara edukasi bisnis modern pun minimal tanda jadi menggunakan satuan prosentase atas harga yang telah di tetapkan. Tetapi berapapun harga yang telah di sepakati, maka tanda jadi menggunakan uang receh 1000 rupiah atau 2000 rupiah jadi terasa tidak legal. Tetapi ini sungguh
terjadi antara Pihak Pertama atau penjual dengan Broker atau calo yang bersedia menemukan Pembeli atau Pihak Ketiga sesuai harga yang sudah di sepakati.
Pemandangan yang bagi saya aneh ini menjadi hal yang biasa terjadi di Pasar Hewan Siono Harjo, Gunungkidul. Bahkan ini telah menjadi tradisi atau aturan tak tertulis bertahun-tahun.
Praktik percaloan seperti ini banyak di geluti oleh masyarakat luas. Mungkin tidak hanya di Pasar Hewan Siono Harjo, Gunungkidul.
"koin tanda jadi"
Blantik adalah aktor yang berada sebagai calo atau broker, yang pada komunitasnya pekerjaan ini di sebut “Nampar” dari kata bahasa Jawa, Tampar, yang berarti Tali. Yang lebih mudah di cerna, mereka adalah perantara antara penjual dan pembeli. Blantik sendiri lebih akrab di dunia percaloan ternak. Tapi Pembeli pun bisa di sebut Blantik jika ternyata dia adalah perantara dengan pihak selanjutnya seperti pemotongan daging atau peternak skala lebih besar.
Kenapa di sebut “NAMPAR”? Karena yang pertama kali di sambut adalah Tampar atau Tali yang mengikat hewan yag akan di jual.
"berebut 'nampar', siapa menang tawar"
Kembali ke Koin. Di Pasar Hewan Siono Harjo, Gunungkidul, setiap hari pasaran Wage pada penanggalan Jawa, aktivitas nya bisa kita temui. Mereka akan sudah berada di lokasi sejak pagi hari sebelum pasar resmi di buka. Mereka akan dengan sigab menyambut para pembawa hewan ternak yang akan di perjual belikan di pasar. Penjual yang datang membawa ekor an maupun dengan angkutan akan menjadi “bulan-bulanan” terlebih dahulu oleh para ‘calo’ ini.
Tawar menawar harga, deal, koin di serahkan, lalu calo membawanya mencari pembeli yang bersedia membayar sesuai kesepakatan hasil tawar menawar. Dari pekerjaan ini setiap ekor mereka mencari untung 20 sampai 50 ribu per ekor.

"menang 'nampar', senyumpun mekar"
Hampir saya tidak menemukan mereka bermain curang. Curang yang saya maksud adalah misalnya deal dengan harga 10 juta, demi mendapat uang lebih lalu mereka menjual dengan harga 15 juta. Itu terlalu riskan untuk kepercayaan pada profesi yang mereka geluti. Mereka bisa mengambil untung sendiri sebanyak 20-50 ribu itu atau akan mendapat fee dari penjual, semua sesuai kesepakatan awal. Biasanya sang penjual akan membagi-bagikan hasil penjualan sesuai kebutuhan dan peran masing-masing.

"menghitung untung, membagi rejeki"
Beberapa kali saya temui cerita kasus penipuan juga. Yaitu setelah ternak terjual si “calo” ini membawa lari uang hasil penjualan. Dan bisa di pastikan, si pemilik akan kelabakan. Tetapi ini tidak juga menghentikan kebiasaan. Bahkan jika tidak melalui praktik ini saya yakin, akan terseok seok untuk bisa menjual.
Dengan modal kepercayaan saja bisnis ini akhirnya tetap berumur ratusan tahun. Dan ternyata ini memberi peluang kerja bagi banyak orang.
Silahkan di pahami sendiri, deal dengan uang recehan adalah bisnis ilegal atau malah kearifan lokal?!

Hari itu Minggu Wage 5 Januari 2014 berempat saya menikmati apa yang terjadi di Pasar Hewan itu. Dari jam 5.30 padi sampai hampir jam 9 pagi.



"modal hari ini"

"menanti"
"menghitung"
"Jadi?!"
"harga jadi"
kertas juga berfungsi
Kami menimati pasar hewan ini, menikmati pasar adalah keberanian bertukar rasa. Dari suasana, tradisi maupun para pedagang dan orang-orangnya.

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar