Jumat, 17 Januari 2014

Menyusuri Jejak Dari Mbah Bardi

"Penampilan Mbah Bardi Di Bulan Desember 2013"
Sambil menahan sakit, di Gedung Serba Guna Siyono
Rencana hari ini hampir saja tertunda lagi, setelah menemukan beberapa titik kecil pusaran angin yang lumayan kencang. Memang tidak terlalu mengkhawatirkan, tetapi liukan pepohonan dan berbagai sampah mampu di terbangkan oleh angin itu membuat saya sempat berpikir ulang atas rencana saya. Kali ini saya ingin menemui seorang seniman lawak Gunungkidul. Sebenarnya sudah saya rencanakan beberapa hari yang lalu. Cuaca yang tidak memungkinkan membuat saya menunda untuk beberapa hari. Dan kali ini saya benar-benar niati. Seiring dengan mendekatnya waktu yang telah kami tentukan angin pun berangsur reda.


Masyarakat mengenal sebagai Mbah Bardi atau Mbah Subar. Logis jika kedua nama ini di anggap benar, karena nama lengkapnya adalah Subardi. Beberapa hari yang lalu saya mendengar beliau sedang sakit. Dan saya-pun mencoba memastikan akan kebenaran berita tersebut dengan menelfon saudara yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan Mbah Bardi. Dusun Jambu, Kelurahan Bandung, Gunungkidul. Rumah berbentuk limasan berdinding bata tersemen bercat hijau muda itu yang kami tuju. Disini juga tidak saya temui identitas apapun yang meyakinkan saya bahwa orang yang akan kami datangi ini adalah keluarga seniman Gunungkidul. Suasana khas rumah petani kampung.

Dari pintu depan yang terbuka sebelum saya mengucap salam “Kulo Nuwun” pandangan saya menelusup ke dalam rumah. Terpampang beberapa photo yang tidak asing buat saya. Poto-poto yang tertempel di dinding rumahnya, yang bisa saya intip dari luar adalah poto-poto berbusana Jawa, khas saat pria kelahiran 4 April 1935 ini manggung melawak. Semakin saya yakin bahwa rumah ini adalah rumah seorang pelawak yang pernah bekerja di Dinas Penerangan era 70an awal sampai 90an akhir dengan sebuah tulisan di atas pintu dalam “RM.SUBARDI”.

"Mbah Bardi"
Penampilan lawak di Sewoko Projo 2012
“Kulo Nuwun” saya mengucap salam. Terdengar suara sendal terseret dari dalam rumah dan jawaban, “Monggo” dari dalam rumah.

Seiring mantan Dukuh Nogosari tahun 1965-1971 ini menyambut kami dari dalam, kami agak terperangah dengan adanya penyangga kepala pada lehernya. Dan kami yakin memang beliau sedang sakit. Di tambah dengan adanya tongkat penyangga yang beliau gunakan untuk menyangga tubuhnya yang tampak semakin renta.  Dan ternyata beliau menderita sakit ini sejak bulan November 2013. Tatapan penuh tanda tanya saya tangkap saat menyambut kami.


“Niki kulo sak rencang saking Gunungkidul Photography, mbah. Bade tilik, kabaripun simbah gerah” saya mencoba memberi sedikit jejak untuk menjawab pertanyaan beliau yang tidak terucap, tetapi bisa saya tangkap dari tatapannya.

"Kulo Nuwun, Mbah"
Dengan ramah lelaki yang telah memotong rambut khasnya yang panjang itu mempersilahkan kami masuk. Setelah menyampaikan maksud kami datang, obrolanpun mengalir. Gelak tawa tak terhindarkan. Beberapa kali saya sampaikan bahwa kami tak sanggup membayar pertunjukan lawak di rumahnya ini. Namun dengan gayanya yang khas membunuh lawan bicara, beliau selalu bisa menjawab dengan lelucon-leluconnya. Hampir tidak saya temukan perbedaan antara di panggung dan kesehariannya, obrolan humor selalu di selipkan saat menjawab pertanyaan saya tentang karir beliau di dunia seni Gunungkidul.  

Kelompok Kethoprak “Marsudi Budoyo” pada tahun 50-55 adalah ladang dimana jiwa lawaknya terasah dan berbuah. Ketidak mampuannya dalam mendendangkan lagu-lagu jawa beriringkan gamelan di akuinya dengan jujur dan lugas. Berbeda jauh dengan istrinya, Ny.Ngatini yang seorang “Wiyaga” atau pemain gamelan dan juga sinden. Tetapi beliau tampak sangat menikmati  hidup sebagai seniman lawak yang pernah mengalami honor sebesar Rp. 25,.

Ketika saya bertanya tentang regenerasi seniman lawak beliau menjawab,
“Lha rep kepie yo, mas. Nek lawak ki ra eneng sekolahane gek! Dadi yo kui iso muncul dewe ngkone!”
Tapi pelawak yang pernah menyabet juara I lomba lawak se-DIY pada tahun 1971 ini menyebut beberapa nama pelawak Gunungkidul yang bisa di jadikan harapan atas keberadaan seniman lawak di Gunungkidul.

“Lawak ki luwes, iso neng kethoprak, neng wayang, neng elektonan, neng campursari utowo nglawak dewe” terang beliau.

Pernah bergabung dengan Kethoprak Tobong dari Trowono. Mbah Bardi yang saat ini memiliki 7 anak, 14 cucu dan 1 buyut, juga memiliki kenangan tersendiri dengan Sang Maestro Campursari Gunungkidul, Manthous. Pertemuan yang tidak sengaja di Warung Bakmi Mbah Noto Logandeng antara Manthous dan Mbah Bardi berlanjut, seiring semakin di terimannya karya-karya Manthous di ranah musik Indonesia. Kemampuan melawaknyapun di manfaatkan Manthous untuk mewarnai Campursarinya. Berkeliling Jawa dan Sumatra di lakoninya bersama CSGK. Nama-nama kota di jawa timur tempat mereka melakukan pentas pun masih banyak yang di ingat. Rasa haru juga sempat saya rekam ketika saya bertanya pendapat beliau tentang Manthous.

"Hitam Putih Senyuman"
“Kog ya secepat itu ya Manto (panggilan akrabnya) pergi. Dia itu jadi panutan Campursari dengan segala pakemnya lho.  Mungkin karena Manto ini sudah tidak ada maka Campursari di Gunungkidul ini semakin bergeser dari pakem yang sesungguhnya. Musik, jenis lagu dan pakaianpun sudah tidak khas Campursari dari Gunungkidul lagi, mas!” terang beliau

Tetapi beliau juga menyebut bahwa masih ada satu grup Campursari di Gunungkidul yang masih mempertahankan baik cara berpakaian dan lagu-lagunya yang khas campursari Gunungkdul. Walau sangat di sayangkan, pakem Campursari dari Gunungkidul yang di munculkan Mathous justru sekarang malah di pertahankan di Manyaran, walau jumlahnya sedikit.


"Keris Mbah Bardi"

“Jane paling gampang ki nek Campursari ki yo pakaian Jawa. Jarik, kebaya, gelungan, surjan. Ra masalah arep gaya Solo opo Jogja” tandas beliau.

Beliapun memiliki mimpi agar para penggiat Campursari di Gunungkidul tetap ada dan tetap ikut melestarikan pakem yang bisa menjadi ciri khas Campursari Gunungkidul yaitu berpakem, Manthous. Harapan beliau dengan pemerintah tentang Manthous pun muncul.

“Kalo bisa mbok ya jangan sampai terlupakan, jika mungkin ya di buatkan tetenger. Manthous itu berjasa lho membawa nama Gunungkidul”  harapnya.


"Koe ki wangune Solo-nan"
Kenangnya atas blangkon pemberian Manthous
"Surjan Kebanggaan"
"Saksi Bisu, Lusuh Rindu"
"RM = Remukan Menungsa"
Lawaknya
"Rambutnya Tak Lagi panjang"

Kami sadar, beliau butuh istirahat agar kembali pulih sehat, kamipun pamit pulang. Menjenguk beliau sekaligus mencoba mencari jejak sang maestro di antara para seniman yang pernah bersama menjadi semakin menarik. Cerita suka duka mereka pribadi maupun dengan sang Maestro masih tersimpan rapi dalam sanubari mereka dan masih segar untuk di bagi. Semoga dahaga saya terhadap seni campursari asli Gunungkidul mampu saya puaskan dari jejak demi jejak yang saya coba telusuri semampu saya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar