Selasa, 14 Januari 2014

Menyusuri Jejak Dari Mas Jhony

"Santai Bersama Jhony"
Musim hujan di bulan Januari ini selalu mempercantik dinding langitnya dengan gumpalan-gumpalan awan gelap. Hingga matahari di siang itu Selasa 14 Januari 2014, tidak terasa begitu menyengat. Om Jow atau Omah Jowo menjadi tujuan kami. Setelah beberapa hari sebelumnya saya telah mencoba berjanji untuk menemui lelaki berkulit coklat gelap pemilik Omah Jowo itu.
Mas Jhony atau Jhony Gunawan nama yang saya akrabi. Seniman Kethoprak adalah profesi yang saya tahu, selain menjadi MC pada grup musik Campursari.


Karena memang niat kami hanya “jagongan” atau ngobrol biasa saja, berkaos singlet putih dan celana pendek jeans menjadi pakaiannya siang itu saat kami temui. Dari penampilannya siang itu hampir tidak ada tanda atau pernak-pernik seni pada dirinya. Selain sebuah slayer hitam yang di jadikan ikat kepalanya dan sebuah surjan kusam yang dia sampirkan di pundaknya. Tetapi siapapun pasti akan menyimpulkan bahwa pemilik Omah Jowo ini pasti orang seni, minimal menyukai budaya leluhurnya. Beberapa gasebo berbentuk Joglo kecil dan 2 rumah Limasan berdiri di sebuah pekarangan pinggir Jalan Bleberan-Playen, mudah sekali di temukan. Lesung berumur ratusan tahun tersebar di beberapa titik pada pekarangan itu. Kursi-kursi kayu, meja rias kayu, asbak kayu, dayung perahu dari kayu, luku dan berbagai ornamen serta hiasan dinding dari kayu yang tampak berusia ratusan tahun dari fisik benda-benda di sana.

"Jagongan Santai"
Saat kami temui beliau tinggal bersama Agil anak lelakinya dengan sang istri bernama Suhini atau di dunia Campursari lebih di kenal sebagai Mbak Suhin. Lelaki kelahiran Rongkop Oktober 1962 ini menekuni seni dengan otodidak saja. Berbagai profesi telah beliau jalani, dari pedagang ikan hias dan pembuat aquarium, juga sebagai penjual kacamata, beliau jalani di sela-sela menjadi MC Campursari.

Kedatangan saya di sambut dengan suara gendang dari lantai atas sebuah bangunan dari kayu, lebih mirip panggung. Dia adalah Jhony Gunawan yang ternyata telah menunggu kami lebih awal. Musik campursari dari sebuah audio player di timpalinya dengan permainan kendang-nya. Sepertinya beliau sedang berlatih.
Senyum ramah dan akrab saya dapati. Karena memang tujuan saya tidak formal, maka obrolan kami mengalir begitu saja. Handphonenya berkali-kali berdering di tengah asik-asiknya kami ngobrol tentang dunia seni di Gunungkidul, kethoprak dan campursari kususnya. Sesekali beliau meninggalkan kami untuk membantu “tukang” yang sedang bekerja menyempurnakan bangunan Omah Jowo-nya.

"Sambil Membantu Tukang"
Ide, gagasan, cita-cita, tentang dunia seni Campursari kususnya, terungkap penuh semangat. Kadang harus lirih bercerita ketika saya tanya tentang Sang Maestro Campursari yang sudah tiada, Manthous. Namun disisi lain beliau juga merasa bangga karena pernah dekat dan banyak belajar dari Sang Maestro Campursari ini. Bahkan dengan tegasnya beliau mengatakan,

“Dia adalah Guru saya, Motivator saya, Inspirasi-inspirasi saya dalam dunia seni baik kethoprak maupun sebagai MC Campursari”, ketegasan saat mengatakan ini saya dapati pada kepalan tangannya yang entah sebenarnya ingin meninju apa saat bicara.

Beliau tertawa lebar saat bercerita tentang saat-saat terakhir mencari sertifikat dan piagam penghargaan untuk Manthous di Sanggar CSGK, Playen.
“Buaaanyak sekali piagam Mas Manthous, mas. Dari Kanada, Kedutaan-kedutaan, Dinas dinas, dari Jakarta dan sebagainya. Yang sama sekali tidak ada adalah Piagam atau penghargaan dari Pemerintah Gunungkidul sendiri” lalu di timpali tawa lebar lagi.

Entah apa maksudnya, karena saya sendiri malah merasa miris dengan kenyataan ini.


"Haru Dengan Sang Guru"

Sambil tetap merekam dan menuliskan beberapa point penting atas cita-cita, pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan beliau, saya terus mendengarkan beliau bercerita panjang lebar. Semoga cerita beliau yang sedang saya kumpulkan dengan sumber-sumber yang lain akan terwujud sebagai obat yang bisa mengobati dahaga saya akan Campursari Gunungkidul. Sebuah seni musik yang mau di akui atau tidak sedikit bergeser dari cita-cita dan pakem yang sudah di sematkan oleh sang Maestro Campursari kelahiran Gunungkidul, Manthous!

"Ajar Ngendang"
"Beliau Di Kaca"
"Om Jow-Omah Jowo"
Semoga masih akan selalu ada yang mengembalikan Campursari sesuai tradisi, langgam, sopan lirik dan pakaian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar