Selasa, 28 Januari 2014

Ayo "Tuku" Gunungkidul

"Di Angkringan pinggir jalan"
Dalam diskusi Angkringan bersama KPH. Wironegoro dan atau FKK DIY yang di fasilitasi FKK Gunungkidul, 27 Januari 2014, yang bisa saya simpulkan dari semua dialog dan argumentasi atas banyaknya rencana adalah AYO TUKU GUNUNGKIDUL. "Tuku atau Membeli" yang saya artikan sebagai keinginan untuk memiliki dan lalu “ngopeni” segala sesuatu yang menjadi dasar karakter budaya di dalamnya. Berbagai isu di munculkan untuk mendapatkan semacam "grand design" yang tepat dalam ikut memberi masukan untuk “membeli” Gunungkidul. 

Diskusi angringan yang bertempat di pinggir jalan Baron, tepatnya di angkringan Wariyo itu memang di setting sedemikian sederhananya. Tetapi kesederhanaan suasana itu tidak menghilangkan wacana-wacana yang muncul, dan rahasia-rahasia kebesaran Gunungkidul yang sesesungguhnya. Yang selama ini tidak banyak di ketahui warga Gunungkidul sendiri.
“Membangun Gunungkidul Melalui Strategi Budaya” menjadi tema malam itu. Tema yang bersumber dari adanya ketetapan atau undang-undang akan Keistimewaan Yogyakarta.

"Diskusi ini Diskusi Angkringan"
Ketika bicara tentang strategi Budaya guna membangun Gunungkidul maka budaya yang ada, yang lahir, tumbuh dan berkembang lalu mengisi hari-hari warga Gunungkidul tidak bisa lepas dari pertimbangan, tentunya. Sejarah Keistimewaan Yogyakarta sebagai dasar untuk pembangunan seharusnya juga menjadi inspirasi untuk juga menyertakan Sejarah “Ke-Handayani-an Gunungkidul” sendiri.

Memahami sejarah Gunungkidul jika di kupas secara mendalam bisa saja berbenturan dengan sejarah Istimewannya Yogyakarta. Tetapi keinginan membangun Gunungkidul harus di temukan titik temu yang tepat tanpa menyertakan ke-ego-an sejarah masing-masing.
Gunungkidul yang di akui atau tidak memiliki sejarah panjangnya, sejak awal peradaban manusia jaman megalitikum, neolitikum, Kerajaan Budha, Kerajaan Hindu, Kerajaan Islam, Belanda atau masa perjuangan, lalu kemerdekaan dan sampai sekarang. Membangun Gunungkidul dengan strategi budaya adalah mengakui eksisitensi budaya Gunungkidul sendiri. Mengingatkan akar sejarah budaya manusia-manusia Gunungkidul menjadi sangat penting. Tidak kalah penting dengan keinginan semakin memproklamirkan Keistimewaan Yogyakarta dengan basik sejarah Keistimewaannya.

"GP-pun ada untuk wedangan"
Posisi Kraton Yogyakarta sebagai “Center of Consideration” dalam membangun daerah-daerah dalam lingkungan DIY dengan strategi budaya, tidak bisa di pungkiri. Bahkan ini menjadi keharusan. Maka kebijaksanaan kraton  sebagai pengayom budaya daerah-daerah ini sangat di perlukan. Menjaga, mengingatkan kembali, menumbuhkan kembali akan kesejatian dari daerah-daerah ini. Demi mendapatkan titik temu yang tepat dalam menentukan langkah Membangun Dengan Strategi Budaya.
“Kami adalah anak-anak gunung-gemunung yang bertanah kapur tidak subur. Kami insan-insan yang hanya mampu berteduh di bawah atap daun-daun jati yang berpermukaan kasar dan bergetah merah sewarna darah. Namun segala kerendahan hati kami dapat membanggakan jiwa kami yang kendati keras sekayu jati namun lunak enak di kerjakan sang undagi” (Roro Mendut YB.Mangunwijaya)
Inilah sebenarnya dasar sedasar-dasarnya manusia-manusia Gunungkidul yang bisa saya simpulkan sendiri. Pohon Jati sebagai manifestasi pepohonan atau hutan. Dan juga Batu sebagai manifestasi bebatuan dan gunung gemunung.
Berbagai buku yang menceritakan tentang Gunungkidulpun tidak bisa lepas dari batu dan jati. Sekali lagi inilah sejatinya Gunungkidul. Ini berarti ketika pembangunan melalui strategi budaya, mempertimbangkan kesejatian ini bersifat HARUS. Membangun Gunungkidul Melalui Strategi Budaya dengan melupakan "Batu dan Jati" adalah sama saja akan menjajah dan menyirnakan Budaya itu sendiri. Karakter manusia-manusia Gunungkidul yang sebenarnya keras sekeras jati namun lunak seperti batu yang mudah di kerjakan oleh sang undagi sebenarnya bisa mejadi  inspirasi untuk menentukan "grand design" dalam membangun Gunungkidul. Dan bisa menjadikan semakin kuatnya pamor Keistimewaan itu sendiri.

"Mungkin gelisah itu hanya milik mereka"

Kegelisahan akan pembangunan Gunungkidul yang mungkin bisa mereduksi budaya itu sendiri layak menjadi masukan. Kegelisahan akan lunturnya budaya berbahasa kromo jowo, berpakaian, jagongan, gotong-royong, kerawitan dan lain-lain adalah kenyataan. Berbagai wacana di munculkan dari kursus, lembaga pendidikan, sanggar seni, dan lain-lain guna tetap mempertahankan dan mendidik akan budaya kesejatian Gunungkidul.
Teringat obrolan dengan seorang guru renta berpesan,
“hancurkan negrimu melalui pendidikan, cukup dengan memporak porandakan kurikulum pendidikan yang bersifat universal, maka hancurlah cara berpikir dan menyikapi setiap perkembangan jaman!”.

"KPH.Wironegoro"
Muncul idealisme saya untuk menggugah memori Kasultanan Ngayogyakarta. Dirikan kembali “Sekolah Kasultanan” yang menjiwakan peserta didik hamemayu hayuning bawono. Minimal kegelisahan-kegelisahan kini akan lunturnya budaya “wong yujo dan Gunungkidul” mampu terminimalisir untuk generasi selanjutnya. Selain tentunya merawat, menjaga dan menghidupkan kembali yang sudah ada!
Maka “Ayo Tuku Gunungkidul” menjadi sebuah gerakan untuk memiliki dengan rasa HANDARBENI, bukan menguasai. Menjadi gerakan yang merawat bukan menyikat.


Akhirnya sebuah lagu yang di bawakan pengamen jalanan Wonosari berjudul “Ke Jakarta”, mengingatkan saya bahwa apapun yang wacanakan dan di rencanakan dari pinggir jalan ini tetap akan kembali ke Jakarta. Kejakarta, di gedung para dewan yang konon kabarya adalah wakil rakyat. Semoga termasuk rakyat Gunungkidul.

"Hal besar apa yang tidak pernah di mulai dengan hal kecil"
Sepertinya tidak ada!
Tulisan ini bukanlah kesimpulan dari diskusi bersama, ini adalah murni kesimpulan atau opini saya saja. 

"Mereka Juga Layak Bersuara"
"Mereka Yang Punya Rasa Gelisah"
"Dari Ritual Wedangan Saja"
"Semoga Ada Dusta"
Agar kita selalu bisa saling mengingatkannya

Note; Trimakasih buat Wahyu Hidayat dan Dedhik yang boleh saya pinjam kamera dan gambarnya.




2 komentar:

  1. Budha kok ga masuk? Candi Risan Semin adalah bukti keberadaan kerjaan Budha tertua di Pulau jawa yg diperkirakan dibangun pada abad ke-3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih Mas Hery Fosil. Langsung saya perbaharui. Maaf sebenarnya sudah ter tulis tapi karena cuma copas dari word jadi harus di woco berulang2 mana yang ilang dan mana yang loncat heee ... skali lagi trimakasih masukannya!

      Hapus