Selasa, 18 Maret 2014

Babad Seni#3 - IPG 2014 (Dalam Opiniku)

"Babad Seni #3 - IPG 2014"
Sebongkah Manifestasi Perseteruan Identitas Sentralistik, demikian sang kurator (Netok Sawiji) menjabarkan tema Babad Seni #3 - Pameran Seni Rupa Gunungkidul 2014 - ini. Tema “Adoh Ratu Cerak Watu” yang di jabarkan dengan kalimat keren tetapi asing bagi sebagian awam. Namun mungkin demikianlah bahasa yang layak di gunakan untuk menjabarkan tema Pameran karya para perupa Gunungkidul yang tergabung dalam wadah Ikatan Perupa Gunungkidul (IPG). 

Kata-kata Adoh Ratu Cerak Watu sendiri sudah sedemikian akrab bagi sebagian besar warga Gunungkidul. Adoh Ratu Cerak Watu sendiri sudah mampu di jabarkan secara harafiah. Secara geografis dan politik, jarak dan kondisi alam yang harus di tempuh (geografy) untuk menjerumuskan diri pada birokrasi-birokrasi (politik) setingkat propinsi memang sangat membutuhkan waktu yang tidak pendek. Namun pada era sekarang faktor ini bisa di minimalisir dengan teknologi. Dengan begitu jarak yang ada sebenarnya sudah tidak menjadi semacam keluh kesah untuk menemui “Sang Ratu” lagi. Karena pada dasarnya “Adoh Ratu” dirasakan tidak sendirian. 
Namun jelas simbol kata "Adoh Ratu Cerak Watu" tidak bisa di pisah begitu saja. Dan mungkin akan lebih mudah di pahami pada masa sekarang ketika kalimat itu di balik sesuai kaidah kebebasan seni pada umumnya. Kaidah itu adalah “Waton”, atau “Asal”, atau Pegangangan. Seperti “Ojo ‘Waton’ omong, ning omong nganggo ‘Waton’”. Jangan asal bicara tapi bicaralah karena memahami asalnya/pegangangya/alasannya. Atau memahami dasar maupun alasan pokok yang akhirnya di sebut Esensi atau nilai. Yang akhirnya bisa menjadi "Cerak Watu Adoh Ratu".


Kondisi alam yang bisa di buktikan dengan adanya bukit-bukit berbatulah yang mengilhami kata “Cerak Watu” di sandingkan dengan “Adoh Ratu” sebagai ungkapan jarak kondisi atas birokrasi politis yang ada. Dan inilah yang ingin di angkat. 

Walau kritik yang saya harapkan dari tema itu ternyata tidak mendominasi  pada pameran ini. Pameran yang di gelar dari tanggal 13 sampai 18 Maret 2014 ini terasa kurang frontal dalam menyampaikan tema “Adoh Ratu Cerak Watu”. Manifestasi kegelisahan atas identitas terasa kurang “greget” dengan karya yang di tampikan. Walau dengan kebebasan yang memiliki “waton” bisa saja terbantahkan. Pun dengan lokasi pamer di Bangsal Sewoko Projo, Gunungkidul menjadi terasa aneh. Manifestasi atas identitas Batu (Watu) yang tak terelakan justru mendekatkan diri dengan simbol “Ratu” yang di manifestasikan dengan lokasi pameran yang lebih identik dengan "Ratu". Sekali lagi bisa saja opini ini di bantah dengan “waton” yang tentu di jadikan alasan pokok mengangkat tema ini.



Namun demikian jika semakin mendalami betapa teguhnya para perupa yang tergabung di IPG dalam mewujudkan pameran ini justru menjadi sentral yang seragam dalam menyampaikan perseteruan atas keadaan identitas Gunungkidul. Dengan mengandalkan kekuatan gotong-royong dan “umbuk bebarengan” sesama perupa, sudah memanifestasikan betapa sulitnya untuk sekedar mendekati atau menggunakan Sewoko Projo sebagai simbol Ratu. Agar bisa ikut dan turut bicara dalam pembangunan Gunungkidul melalui Seni Rupa-nya.
Karena bagaimanapun seni (dalam hal ini seni rupa) sangat bisa menjadi parameter apakah pembangunan itu sungguh menyentuh mayoritas atau masih dalan lingkup minoritas.

"Adoh Ratu Cerak Watu"

Karya Thoyib Sigit Sugito ini mengajak saya untuk membongkar manifestasi yg tergambar pada seorang lelaki muda perkasa memegang kunci sebagai "betel" (pemecah) untuk memecah sebongkah batu dengan menggunakan buku sebagai palu. Alam yang ada, kunci telah tersedia, "waton" atau pedoman pun siap di buka. Ya lelaki muda perkasa. Siapa?

"Golek Banyu"
Karya Herlan Susanto. walau dengan background bukit-bukit batu kapur sumber air itu ada. Terbukti pencari mendapatkannya. Keperkasaan para wanita tidak kalah dengan lelaki. Namun apakah harus terus begini. Adoh Ratu kah persoalannya?
"Oglog"
Karya Sugeng Riyadi, mengingatkan saya pada kisah Mahabaratha yang tak lepas dari perjudian "Dadu". Hiburan dalam bentuk perjudian milik kelas bawah ini menjadi sangat men-"colek" dunia pendidikan dan pemerintah. Siswa SD dan lelaki berseragam PNS menjadi sentra perseteruan sosial yang ada. Namun kondisi ini sungguh real dalam masyarakat kita dan di manifestasikan dalam suasana "Oglog". Judi Oglog kah pesan nya? Semoga pesannya sampai ke pada sang Ratu.

"Pertarungan Hitam dan Putih"
Karya Suyidno, dalam kenyataan memang permainan judi ayam sabung memang ada. Dan perseteruan atas kondisi yang (bukan kebetulan) "adoh ratu" ini memang serasa lucu. Ada semar dan togog, petani, pepohonan, laut, goro-goro (kayon), dan satu telapak tangan yang mekar. Entah bersorak sorai atau menunggu kesempatan?
"Gari Neng Resan"
Karya Edy Patmo, kesan angker tergambar di atas kanvas dan judul yang menyebut kata Resan. Tetapi demikianlah realita yang ada. Ironis sekali ketika kita menjadi jauh "Adoh Ratu" namun tetap terkena dampak moderinitas. Hingga (malah) lebih leluasa menggubur sejarah yang ada. Caping, lesung, gamelan, joglo, gerabah dan manusianya terkubur begitu saja. Benarkah maksudnya malah menyuburkan Resan, manifestasi dari sebuah ke angkeran?
" - "
Karya Budi Martono, Lukisan abstrak Sekda Gunungkidul ini tak saya temukan judulnya. Adoh Ratu telah terjawab, seorang Pejabat turut memamerkan karyanya, atau beliau juga merasa Adoh dengan sang Ratu? Hingga turut menyuarakan seruan "Adoh Ratu Cerak Watu"  dengan cara abstrak? Atau abstrak kah beliau melihat kondisi ini? Hingga belum sempat memberikan judul atas perseteruan tentang identitas Gunungkidul?
"Nyumet Petromak"
-judul karangan saya sendiri-
Lukisan sederhana karya perupa yang sekarang telah menjalani kontrak tanpa batas untuk melukis di "Bangsal Sang Khalik" ini tetap kuat dan realistis menyampaikan keadaan betapa jauhnya dengan sang ratu. Karya Alm. Intan S.Bono ini terpigura dengan kaca yang lusuh dan frame kayu yang lapuk hadir di Bangsal Sewoko Projo. Menuntut kepekaan semua yang berwenang (pejabat atau warga awam) atas kondisi seni kususnya dan keadaan Gunungkidul pada umumnya.

Pameran yang di kemas sedemikian rupa ini juga menghadirkan Gedeg (dinding bambu) gaplek, arit, gathul, senthir, luku dan lain-lain. Mengingatkan identitas-identitas yang mulai di kesampingkan. Karya para pematung pun menggelitik (bagi yang peka) atas perseteruan para seniman Gunungkidul dalam melihat keadaan Gunungkidul yang ada.
Judul "Tumbak Cucukan" termanifestasikan dengan ukiran/patung dari kayu asem karya Agus Abadi. "Para Penggusur' di manifestasikan dalam bentuk patung 3 sosok modern berbahan kayu mungur karya Sumarno Keling. "Ada Apa dengan Otakku" di manifestasikan oleh Agustinus Dinarta dengan ukiran pada lembar kayu jati. Dan masih banyak lagi karya seniman-seniman Gunungkidul dalam memanifestasikan perseteruannya atas identitas Gunungkidul dalam Pameran Seni Rupa "Adoh Ratu Cerak Watu".

Dengan foto di bawah ini semoga kita semua sadar bahwa kita sudah berada di "bangsal". Kita sebenarnya sudah tidak lagi jauh dengan sang Ratu. Namun memang di butuhkan "energi" yang efektif untuk mengetuk Pintu bangsal bagian belakang yang mungkin itu adalah tempat Sang Ratu yang akan kita kunjungi. Dan semoga kita tidak melupakan "watu" yang tertingal di luar area bangsal sang Ratu, karena itulah identitas kita.

"Kita Sudah Di Bangsal Sang Ratu"
Semoga Sukses selalu untuk Ikatan Perupa Gunungkidul. Identitas Sentralistis harus selalu kita Seterukan agar kita dan generasi lanjutan tak pernah kehilangan akar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar