Kamis, 13 Maret 2014

Mencari Jampi (untuk obat) Puyeng

"Jhony Sang Empunya Omah Jowo"
Begitu aku parkirkan motor beat warna pink milik istriku, yang ku pakai malam itu 7 Maret 2014. (Sebanarnya trailku sendiri sudah ku siapkan, namun suara knalpot untuk malam serasa kurang nyaman). Aku langsung menengok jam di hp yang menunjukan pukul 18.55. Ternyata aku masih menjadi manusia yang belum berubah sejak masa remaja, pikirku. Mencoba On Time, tidak in time apa lagi between time. Kecuali ada yang sangat2 tidak tertolak untuk jadi alasan. Itupun pasti akan kucoba jelaskan sebelumnya. Sebisa mungkin. Alasan jam karet biarlah menjadi alasan liyan tapi tidak untuk saya. Bahkan saya lebih memilih untuk tidak memenuhi janji jika ternyata saya tak mampu tepat waktu. Biarlah prinsip lebih baik terlambat itu menjadi milik liyan. Ya atau Tidak, itu saja.
Berada di area remang-remang, masih jelas terasa arstistiknya area pekarangan itu. 3 gasebo kayu berlampu remang, 1 limasan kecil dengan lantai beralas tikar, dan 1 lagi limasan di bagian belakang penuh dengan furnitur kayu entah di buat berapa tahun silam. Ada hawa magis di stiap kecipak ikan dari kolam di sebelah timur limasan. Sepi di tengah taman yang berhias batu alam dan lesung-lesung tua. Omah Jowo begitu sang empunya menamai tempat ini. Dan ini adalah kali ke dua saya menemuinya dalam rangka tulis menulis di tempat yang sama. Yang pertama kali ada Di Sini.
Langsung saya menuju ke bangunan sebelah barat di samping limasan pertama. Seorang lelaki muda sedang berdiam diri tanpa teman, kecuali anak kecil bernama Agil sedang memainkan balapan pada Playstationnya di limasan beralas tikar. 

“Kulo nuwun, Pak Jhony ada mas?” tanyaku membuyarkan tatapan curiganya. 
“Saya sudah janjian kemarin” jelasku pendek sambil menelan ludah. Karena di bangunan kecil itu telah tertata rapi jadah, puli, tempe dan berbagai macam gorengan. Sedangkan di sebelahnya terlihat cangkir, poci, gelas, termos dan lainya.
Kebetulan sosok yang ingin ku temui sedang berada di luar, lalu lelaki muda ini menawariku untuk menemui istrinya yang bernama Suhini. Yang kujawab tidak perlu, nanti saja sambil memintanya membuatkan kopi. Dan dengan sengaja saya langsung mengambil 1 puli dan 1 tempe, kusatukan lalu ku makan. Hmmmm …. 

“Saya di belakang saja ya mas nunggunya” kataku sambil menuju limasan bagian belakang. Tak lama berselang penyaji kopiku datang dengan membawa 1 piring penuh puli dan tempe. 
“Saya sudah ambil satu pasang lho mas barusan!” sambutku tak lupa berterimakasih.

Lima menit telah beranjak dari angka 19.00, lelaki yang ingin ku temui belum juga datang. Aku masih sabar sambil menikmati kopi dan makanan kecil yg di sajikan.  Spertinya hotspot malam itu belum di aktifkan, berkali kali kucoba koneksikan untuk membunuh resah menunggu tak juga berhasil. Ya sudah lah, lalu kunyalakan rekaman percakapan pada pertemuan pertama dulu. Ya di tempat ini, di meja ini, di kursi ini, di tempat asing penuh dengan kayu-kayu yang katanya bernilai seni tinggi apalagi nilai dalam rupiahnya.
Ada motor matic meluncur tanpa ragu dari arah luar, dengan pengendara tanpa helm. Dari kuciran rambut panjangnya bisa ku pastikan inilah yang saya tunggu. Lalu ada lelaki yg lebih tua yang bersamanya. Saling sapa ramah dan berhiaskan celotehan bikin ngakak. Ya mereka adalah para seniman kethoprak yang sangat ingin saya temui malam itu. Dan lelaki yang lebih tua, yang selalu mengisi stiap bicaranya dengan banyolan adalah Mbah Waluyo. Wajar beliau ternyata pelawak. Teringat pertemuan saya dengan Mbah Bardi yang juga seniman lawak. Selalu banyak tawa dan canda dalam setiap pembicaraannya.
Kopi, teh poci, dan makanan kecil kembali mengisi meja kayu tebal di depan kami. Creess … cresss … cresss … di ikuti asap mengepul keluar dari masing masing bibir menghitam milik orang-orang yang sekarang bersama saya. Tak lama berselang, wanita cantik rambut hitam sebahu, berkulit langsat bergabung dan menyalamiku. Ya dia adalah Mbak Suhini, istri Mas Jhony.
Lalu sayapun menyampaikan maksud saya beserta alasan-alasanya. Merekapun memperhatikan penjelasan maksud kedatangan saya dengan serius tapi santai tentunya. Saya sampaikan bahwa kedatangan saya bukan atasnama pribadi, tetapi memang ada orang yang mengutus saya yang memperhatikan aktivitas yang mereka lakukan. Yang berhubungan dengan seni budaya di Gunungkidul. Saya jelaskan bahwa saya datang atas pengutusan pimpinan pusat media online kabarhandayani.com, sambil mengeluarkan kartu penugasan.
Setelah semua memahami maksud kedatangan saya yang telah saya awali janji bertemu pada hari sebelumnya, 1 pertanyaan pembuka saya munculkan.
“Mengapa bapak-bapak dan ibu memilih aktif dan secara intens dan konsisiten membangun kethoprak kususnya di Gunungkidul?” 
“Darah dan jiwa kami ini seni mas. Kami bukan tokoh agamawan, bukan tokoh politik, bukan pejabat publik. Ini adalah cara kami ikut menyampaikan pesan. Ya melalui hiburan jenis ini!” sejenak jeda lalu di teruskan 
“Kethoprak adalah salah satu media yang efektif untuk turut menyampaikan informasi penting pada masyarakat. Pemerintah bisa menggunakan, warga biasa bisa menggunakan dan yakinlah, yang datang tidak kalah dengan hiburan dangdutan” di tutup dengan tawa ketiga nara sumber yang saya temui malam itu. Mbah Waluyo, Mas Jhony dan Mbak Suhin.
"Mbah Waluyo, Sang Lawak Jampi Puyeng"
Banyak yang bisa saya kuak, dari cerita kethoprak Tobong di Gunungkidul, dunia lawak, campursari sampai opini-opini mereka tentang hiburan di jaman sekarang. Tidak ingin terlewatkan rekaman dan tulisan saya mainkan selama wawancara santai itu.


Kegigihan, keuletan, pantang menyerah, suka rela, konsisten dan tetap “berhati” dalam lebih dari 10 tahun ini adalah kunci dari setiap penghargaan yang mereka dapatkan sekarang. Cinta pada dunia seni dan tanah dimana mereka berdiri adalah kekuatan yang membuat mereka tetap (dan semoga akan terus) bertahan sampai kemudian hari.

15 Menit sebelum pukul 21.00 rekaman saya matikan sambil mengucap terima kasih atas waktu dan tempatnya. Seiring semakin banyaknya orang berdatangan untuk wedangan, musik dari sebuah organ pun di mainkan, terdengar suara manis nan renyah bernyayi dan sayapun angkat kaki. Mohon undur diri untuk semakin mendalami rekaman dan tulisan malam ini.
Tepat sekitar 200 meter dari kantor kecamatan Playen, saya teringat ada yang lupa. Namun tidak menghentikan motor yang saya bawa. Ya, ternyata kopi dan satu pasang Puli Tempe yang saya makan di awal malam itu lupa belum terbayar.
“Tenang wae, mas bro. Sudah saya booking semua, semoga sukses terus nulisnya” inilah yang membuat saya lega untuk tidur malam itu. Sms jawaban dari sang pemilik tempat usaha itu. Kemudian kutambahkan ucap trimakasih itu dengan “trimakasih atas traktiranya!” heee
Artikel yang saya susun ternyata memang memuaskan sang pimpinan yang mengutus saya. Dan Hasilnya di publikasikan Di Sini . 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar