Judul ; Semiotika Jawa - Kajian Makna Falsafah Tradisi-
Penulis ; M. Hariwijaya
Penerbit ; Paradigma Indonesia
Cetakan Pertama Februari 2013
Copyright @M.Hariwijaya
Layout ; Hagas
Design sampul ; Chandra
Copyright @M.Hariwijaya
Layout ; Hagas
Design sampul ; Chandra
Membaca bab Percikan yang di tulis oleh Dr.Sudi Yatmana, seorang Pemerhati
Budaya Jawa pada halaman iii, paragraf akhir beliau menuliskan tentang dialog
epilog pada bagian akhir buku ini. Dialog ini membuat saya penasaran dan menuju
langsung ke bagian akhir dari buku ini.
Dialog epilog ini berjudul “Bagaimana Menjadi Jawa Di Zaman Edan Ini?” Potongan
dialog antara Dul Hamid dan Panotogomo itu begini,
Dul Hamid :
“Mbah, lalu apa saran Mbah untuk saya?”
“Mbah, lalu apa saran Mbah untuk saya?”
Panotogomo :
“Kalau kamu akan menjadi Jawa, kamu harus memiliki semua. Menguasai orangnya, modalnya, uangnya dan senjatanya. Tetapi kalu kamu tidak memiliki semua, artinya kamu sudah menjadi orang Jawa!”
“Kalau kamu akan menjadi Jawa, kamu harus memiliki semua. Menguasai orangnya, modalnya, uangnya dan senjatanya. Tetapi kalu kamu tidak memiliki semua, artinya kamu sudah menjadi orang Jawa!”
Petikan dialog itu tidak saja membuat penasaran si Dul Hamid. Tetapi saya juga. Saya sampai berulang kali membaca dialog di bagian akhir buku ini. Sebelum akhirnya saya kembali ke halaman depan dan membaca dari Prolog yang di tulis sang penulis yang berjudul Seputar Kebudayaan Jawa.
Dalam Bab Sekitar Kebudayaan Jawa pun saya di buat melek betapa pulau yang
memiliki panjang 1.200 kilometer dengan lebar 500 kilometer ini telah melewati
berbagai macam peradaban dan tentu meningalkan berbagai bentuk cara hidup yang
akhirnya di sebut budaya. Budaya yang tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa. Di
nyatakan bahwa Istilah Jawa atau Jawi sendiri telah mengalami perubahan makna
dan konteks. Dan ini di jelaskan secara
detai dan gamblang pada Prolog ini. Bahkan secara geografis, geologis, dan
iklim sebagai alasan atas perubahan yang terjadi pada kebudayaan Jawi atau Jawa
atau El-Jawi baik secara makna di dalam kata maupun konteks yang menunjuknya.
Jawa atau Jawi yang di sebut oleh orang-orang Arab, Persia hingga Hindustan adalah seluruh semenanjung Malaka. Berkembang menjadi El-Jawi sebagai sebutan "yang berasal dari pulau Jawa". Kemudian mengerucut pada wilayah pulau Jawa bagian tengah dan timur. Karena bagian barat telah di nyatakan dalam sebutan Daratan Sunda.
Setuju dengan pendapat sang Pemerhati Budaya Jawa yang menuliskan Percikannya,
bahwa buku ini bias karena sulit bagi saya untuk membedakan dimana Jawa yang di
maksud. Begitu pula ketika masuk kedalam isi pokok buku ini. Tetapi memang
sangat memerdekanan, memperluas dan melengkapi kekayaan hidup, pun pengetahuan
pula. Yang akhirnya menjebatani saya untuk menemukan bahwa Budaya Jawa Pada awalnya memang sangat luas.
Apalagi di nyatakan bahwa isi buku ini menjadi sangat penting karena ternyata
layak di sandingkan dengan karya-karya Franz Magnis Suseno dari Drijakarya. Dan
bagi saya, buku ini sungguh menambah pengetahuan saya akan berbagai Sesanti
yang ada dalam Kebudayaan Jawa.
Sesanti yang di sebut-sebut dalam buku ini sebagai semboyan untuk membakar semangat, membangkitkan motivasi, meningkatkan rasa percaya diri, membangun kekuatan alam bawah sadar dan berfungsi mengikat kesatuan serta solidaritas kelompok. Pun Sesanti demikian bukan hanya ada di Jawa bagian tengah dan timur saja tetapi memang sungguh-sungguh El-Jawi sesuai dengan konteks yang di tunjuk oleh orang Arab, Pesia dan Hindustan pada dahulu kala sebagai kata lain dari Nusantara. Artinya Sesanti atau Semboyan sudah menjadi milik atau tradisi orang-orang Nusantara. Terbukti energi positif dari sesanti yang di angkat bisa menjadi identitas untuk terus mencapai tujuan atau cita-cita.
Bali Dwipa Jaya sesanti atau semboyan dari Bali, Wadja Sampai Kaputing dari
Kalimantan Selatan adalah contoh bahwa sesanti yang juga di gunakan oleh
orang-orang di luar wilayah yang di sebut Jawa itu sendiri. Sesanti yang tidak
asing bagi saya adalah “Hamemayu Hayuning Bawana”.
Barisan judul-judul sesanti yang tertulis rapi ini di buka oleh akronim yang sangat
akrab di telinga saya. Barji Barbeh, Bubar Siji Bubar Kabeh. Adalah penyemangat
kebersamaan dalam kelompok atau komunitas. Bersanding dengan akronim Tiji Tibeh
yang bisa di artikan Mati Siji Mati Kabeh, atau Mukti Siji Mukti Kabeh. Dan
bertambahlah pengetahuan saya bahwa kalimat akronim ini memiliki sejarah dan di
tuliskan pada masing-masing bab. Di jelaskan bahwa akronim pertama pada buku ini
di rumuskan oleh Pangeran Samber Nyawa sebagai penyemangat menggalang kekuatan
melawan hegemodi penjajah sekitar tahun 1740-1760 M.
Bhineka Tungal Ika-Tan Hana Dharma Mangrwa yang menjadi semboyan Negara
Rapublik Indonesia. Holopis Kuntul Baris sebagai penyederhanaan ucapan atas Don
Loppis Comte Du Paris yang memiliki akar sejarah saat Pembuatan Jalan atara
Anyer-Panarukan. Ing Ngarso Sung Tuladha-Ing Madya Mangun Karsa-tut Wuri
Handayani, Jaya-jaya Wijayanti, Maju Tatu Mundaur Ajur, Mangasah Mingising Budi
dan banyak lagi sesanti. Bahkan buku ini mengingatkan saya pada kalimat gagah
berwibawa mirip mantra agar membuat lawan ciut nyali yang di kobarkan oleh
Sultan Agung Hanyakra Kusuma pada tahun 1600 M. Yaitu Sadumuk Bathuk Sanyaring
Bumi Ditohi Pati.
Buku ini juga mengungkap
Pasemon dan Tradisi pada halaman 21 (buka)
Sanepa Mawa Tengara pada halaman 53 (buka)
Piwulang Kautaman halaman 59 (buka)
Isbat pada halaman 165 (buka)
Dan Dialog Epilog berjudul Bagaimana Menjadi Jawa Di Zaman Edan Ini? Di tulis penuh arti dan pelajaran hidup sesuai falsafah Jawa pada halaman 197 sampai 214.
"epilog edan" |
-Siono, 21 Maret 2014-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar